Jiwa kita pasti akan mati, tapi karya kita takan pernah mati...

Do something or you'll be nothing...

Intan Hati

Malam masih menyuguhkan udaranya yang dingin, bintang dan bulan pun masih bermain dengan cahayanya yang gemerlapan. Di sebuah cafe di pinggir jalan yang dekat dengan Mall Cipulir, duduk sepasang anak muda yang sedang membicarakan sesuatu yang serius. “Terimakasih atas semuanya” Ucap Rafi tegas ingin mengakhiri semuanya. “Tunggu, kenapa kamu tiba-tiba memutuskan hubungan ini secara sepihak? Kenapa?” Shila tidak terima dengan apa yang diinginkan Rafi untuk memutuskan hubungan mereka. “Shil… dengan semua yang selama ini terjadi, dengan semua yang kamu lakukan terhadapku, kamu tidak seharusnya bertanya kenapa” Tegas Rafi. “Maksudmu?” Shila tidak mengerti apa maksud perkataan Rafi. “Dengan semua yang kamu lakukan dibelakangku selama ini, kamu masih bertanya kenapa? Memangnya aku bodoh Shil? Aku tahu semuanya” Rafi mencoba menjelaskan. Shila terdiam sesaat, apa yang dilakukannya selama ini? Apa yang membuat Rafi berkata seperti itu kepadanya? “Apa yang aku lakukan Raf..? Apa?” Shila ingin tahu apa yang sebenarnya membuat Rafi menginginkan perpisahan mereka. “Ini apa?” Rafi menunjukan sebuah foto. Shila pun mengambilnya kemudian memperhatikan foto itu dengan seksama. Shila terdiam, Shila pikir Rafi tidak tahu masalah itu, Shila selingkuh, Shila tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menunduk dan tak berani menatap Rafi. Kejadian itu terjadi sekitar 2 bulan yang lalu. Ketika itu Papanya Rafi yang sedang berobat ke Singapore, tiba-tiba sekarat dan mengalami keadaan yang sangat kritis. Papanya meminta Rafi untuk datang ke Singapore bersama Mamanya, akhirnya mereka berdua menyusul Papanya ke Singapore. Dengan kedatangan mereka, alhamdulillah Papanya berangsur-angsur sembuh dan terlihat sudah bisa tertawa. Namun keadaan itu hanya berlangsung 1 bulan, setelah itu Papanya Rafi mengalami koma. Karena itulah, Rafi sama sekali tidak sempat menghubungi Shila. Namun sayang, disaat itu pula Shila sedang butuh Rafi untuk menyelesaikan masalahnya, walau hanya sekedar berkonsultasi lewat telpon. Akhirnya karena Rafi sulit sekali dihubungi, Shila bercerita dengan teman laki-lakinya, namun dari hasil pertemuan dan pembicaraan mereka yang terlalu sering, Shila jatuh hati kepada temannya itu. Dan ternyata, teman laki-lakinya itupun suka dengan Shila. Tapi hubungan mereka hanya berlangsung 2 minggu, karena Shila sadar kalau perbuatannya sudah mengkhianati cinta Rafi. Dan sayang sekali karena Rafi mengetahui perselingkuhan itu. Dan bagi Rafi, tidak ada negoisasi dalam masalah perselingkuhan. Selingkuh tetap selingkuh, apapun alasannya. “Makasih ya Shil… kamu telah membuat kenang-kenangan dihatiku yang tak mungkin aku lupakan, ya kamu telah meninggalkan segores luka yang begitu dalam di hatiku, perih Shil… Sakit…” Rafi terdiam sejenak. “Tapi sudahlah, sudah percuma semuanya, aku memakimu dengan kata-kata kasarpun sudah percuma, aku memarahimu pun percuma, semua sudah terjadi” Rafi mencoba menahan amarahnya. “Oh iya… ini Shil… boneka tweety dari kamu” Rafi mengeluarkan sebuah boneka mungil berbentuk burung kecil berwarna kuning, yang sering dikenal dengan sebutan tweety. Shila masih terdiam, ia hanya berani memandang boneka yang ada ditangan Rafi. Di Boneka itu ada inisial masing-masing nama mereka, R & S. Kemudian Rafi mengeluarkan sebuah pemacik api dari kantong celananya dan menyalakannya, lalu Rafi mendekatkan boneka mungil itu ke api tersebut, Rafi membakar boneka itu. Shila tercengang, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya memandangi boneka itu terlahap oleh api. “Maaf Shil… tapi untuk apa jika aku harus terus menyimpannya, hanya membuat aku semakin membencimu ketika aku melihatnya” Jelas Rafi kecewa sekali. Sementara api terus melahap si tweety, Rafi melangkah pergi meninggalkan Shila. Rafi membiarkan Shila terdiam tanpa memberikan waktu untuk Shila menjelaskan semuanya, karena bagi Rafi semua sudah jelas, foto itulah yang telah menjelaskan semuanya. ##### Udara pagi masih memperlihatkan embun-embun bening di rumput-rumput kecil yang lembut nan hijau, matahari pagipun masih mengintip malu dari kejauhan, hanya cahayanya yang berani masuk menerobos sela-sela kecil di kamar mungil tempat Rafi tinggal. Di sebuah desa kecil di pinggir kota di daerah Petukangan Utara, Jakarta Selatan, disitulah rumah sederhana Rafi yang ikut menyesakan pemukiman penduduk di daerah itu. “Rafi.. Sarapan dulu..” Saran Mama Rafi menyuruhnya sarapan pagi sebelum ia berangkat kuliah. “Iya Ma.. nanti aja di kampus, Rafi takut kena macet, Mama tau sendiri kan, jalan-jalan di Jakarta sering macet” Ucap Rafi menolak tawaran Mamanya untuk sarapan pagi. “Iya Mama tau, tapi dicicipi dulu dong nasi goreng buatan Mama, sedikit saja ya sayang” Mamanya masih membujuknya untuk sarapan. Rafi terdiam sejenak. “Ok deh Ma” Rafi mengalah, ia tak tega jika Mamanya harus kecewa karenanya. “Oh iya Raf.. kemarin ada yang kemari, dia titip ini ke kamu” Tukas Mama Rafi disela-sela sarapan pagi mereka sambil memberikan sebuah surat mini kepadanya. “Dari siapa Ma” Tanya Rafi sambil menikmati sarapannya. “Mama juga kurang tau, kemarin mbo yang nerima” Jelas Mama Rafi. “Uhm.. dari siapa ya, ah udahlah, nanti aja baru dibaca, Ma.. Rafi berangkat dulu ya” Pamit Rafi. “Ya berangkat sih berangkat, itu susunya di habiskan dulu” Cegah Mama Rafi. “Oh iya, maaf Ma lupa.. he..” Ucap Rafi sambil nyegir. ##### ‘Dari siapa ya kira-kira, uhm… aku buka sekarang aja deh’ Batin Rafi penasaran, akhirnya ia membuka surat itu, ada kertas kecil didalamnya. Raf… Aku memang salah sudah menyakiti hatimu Tapi.. bisakah kita memperbaiki semua ini dari awal? Aku berjanji tidak akan mengecewakan kamu lagi… karena… aku tidak bisa kehilangan kamu… Bisakah kamu mencintaiku lagi? Selamanya aku akan selalu mencintaimu… Shila “Bullshit..!!!” Rafi sudah sangat membencinya, Ia meremas surat itu, lalu ia membuka kaca jendela mobilnya, bermaksud membuang surat itu, namun… ia urungkan. “Shit..” Rafi mencela dirinya sendiri, Rafi tidak tega membuangnya, akhirnya surat itu di selipkan di bukunya, namun ia memang takan membukanya lagi, apalagi membalas surat itu. Ia hanya menghargai cintanya Shila, namun ia tidak bisa jika harus mencintainya lagi. ##### 2 Tahun kemudian… “Eh.. ada bunga liar.. lagi apa nona? Chating sama siapa sekarang” Sinta tiba-tiba mencela Shila yang dari tadi duduk sambil chat di ruang tengah kostan mereka, Sinta baru pulang dari kuliahnya. “Heh.. loe ga bisa jaga mulut ya? Siapa yang loe panggil bunga liar? Baru datang udah ngajak berantem” Shila marah sekali, siapa yang akan tenang hatinya jika di sebut dengan panggilan seperti itu. “Oh.. Ada yang ga suka ya namanya di ganti-ganti, tapi kalau memang kenyataan, seharusnya kan ga mesti marah, bener ga?” Sepertinya Sinta ingin mencari gara-gara dengan Shila. “Apa loe bilang? Kenyataan? Nilai Tata Krama loe berapa sih? Jangan-jangan D terus ya? Pantes..” Balas Shila. “Eh shil… gue bilangin ke loe ya, kenapa gue bilang loe bunga liar? Loe mau tahu..?” Shila masih diam, ia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh Sinta. “Loe emang cantik, body loe oke, tapi.. cinta loe tuh yang ga ada harganya sama sekali” “Sialan loe” Shila berdiri, sepertinya Shila ingin sekali menempeleng sosok wanita yang berada dihadapannya, yang bagi Shila sekarang seperti nenek lampir yang bawel. “Kenapa? Loe mau tampar gue..? Tampar aja.. nih.. yang bagian mana? Kanan atau kiri?” Tantang Sinta. “Grhrrghhghh…” Shila masih menahan amarahnya. “Pengecut.. kenapa masih ga mau ngakuin sih, tahun ini aja loe dah gonta-ganti pacar sebanyak 4 kali, apa ngga seperti bunga liar yang bisa dipetik oleh siapapun karena tidak ada yang menjaga dan tidak dijaga? Siapapun bisa memetiknya kapanpun mereka mau?” Sinta masih dengan kata-kata beracunnya. “Kenapa emang? Loe iri ma gue? Karena loe ga punya pacar? Iya?!!” Akhirnya Sinta membela diri. “Iri..?!? Ngapain gue iri sama loe.. Iri sama yang harga cintanya NOL!! Kiamat kali” Ucap Sinta sambil membentuk jari-jari ditangan kanannya berbentuk angka kosong. “Loe emang harus diberi pelajaran” Shila melayangkan tangan kanannya. Plak..!!! Shila akhirnya tidak bisa lagi menahan amarahnya, Ia menampar pipi kiri Sinta dengan tangan kananya. “Puas nona?” Sinta tidak membalasnya. “Gue kasih tau ya sama loe, loe pikir sendiri, loe gampang banget jatuh cinta, gonta-ganti pacar kaya gonta-ganti farfum, 3 bulan sekali, kok loe bisa kaya gitu? Kenapa ngga loe hargai cinta yang seharusnya mahal banget” Shila masih diam. “Cinta yang seharusnya di tukar dengan seisi bumi dan langit ini ga bisa, tapi bagi loe, dengan mudahnya loe menggadaikan cinta loe” Shila masih saja diam. “Bahkan sudah banyak yang mencicipi cinta loe.. ga cuma seorang… tapi.. puluhan orang… memang.. loe ga menggadaikan tubuh loe.. tapi bagi gue, lebih berharga rasa cinta itu sendiri di banding dengan menikmati perantara cinta tersebut, itu yang gue maksud klo loe tuh murahan” Tegas Sinta, sementara Shila masih terdiam, sepertinya ia mulai mengerti omongan Sinta. “Dan satu lagi… cowo loe yang dulu bernama Rafi, dia sahabat gue, setelah dia putusan sama loe, yang gue tahu, sama sekali dia ga nyari pasangan sampai sekarang” Sinta berhenti sejenak sementara Shila terlihat terkejut mendengarnya. “Tau kenapa? Bukan karena dia masih mengharapkan loe, bukan.. tapi… karena dia menghargai cinta loe… Dari sini gue baru tahu, ternyata laki-laki bisa lebih menghargai hakikat sebuah perasaan dibanding perempuan yang katanya mempunyai perasaan yang lebih lembut di banding laki-laki” Lanjut Sinta. “Ah Rafi… Malang sekali nasibmu sobat, kamu menghargai cinta orang yang orang itu sendiri tidak menghargai cintanya” Ucap Sinta sambil berlalu ingin memasuki kamarnya dan meninggalkan Shila. “Tunggu Ta…” Cegah Shila. “Ada apa? Masih belum puas nampar pipi gue?” Sinta masih saja menantangnya. “Bukan Ta.. apa benar Rafi seperti itu?” Shila bertanya dengan hati-hati. “Ya.. Gue kenal baik dengan dia, dia temen gue dari kecil dan gue satu daerah sama dia, jadi gue bisa tahu” Jawab Sinta. Langsung saja Shila bergegas mengambil handphonenya yang dari tadi ia letakan diatas bangku tempat tadi ia duduk. Shila mematikan aplikasi untuk chat yang dari tadi masih terbuka, ia tidak memperdulikan lagi siapa saja yang dari tadi menyapanya. “Hei.. mau kemana?” Tanya Sinta karena terlihat kalau Shila ingin pergi keluar. “Ta.. Maafin gue ya.. loe emang sahabat gue, loe betul-betul sahabat gue, yang lain cuma berani ngomongin gue dari belakang, sedangkan loe… loe kaya cermin, berani ngomong yang sejujurnya di depan gue.. thanks ya Ta…” Shila tidak menjawab pertanyaan Sinta, Shila malu kalau Sinta tahu Ia akan kemana, dan Shila sadar bahwa Sintalah teman sejatinya selama ini, karena Sinta sudah berbicara apa adanya didepannya. Sementara Sinta malah terdiam, matanya mengembang, sepertinya Sinta ingin sekali menangis. “Shil..” Panggil Sinta tepat sebelum Shila melangkah keluar. “Iya Ta..” Jawab Shila. “Hati-hati ya..” Ucap Sinta. Shila hanya tersenyum mendengarnya. ##### “Raf..” Panggil Shila lembut sekali ketika ia berhasil menemuinya di sebuah taman tempat Rafi biasa menghabiskan waktu sorenya, Shila tahu kalu Rafi pasti ada di situ, karena setidaknya, Shila pernah mengenal Rafi dengan baik. “Eh.. Kamu Shil..?! Kok bisa ada disini?” Rafi terkejut dengan kedatangan Shila, namun terlihat kalau Rafi sama sekali sudah tidak dendam dengan Shila, ia sudah melupakan semuanya. “Oh.. ini.. Aku kangen sama tempat ini, indah ya..” Jawab Shila sekenanya. “Hmm, ngomong-ngomong udah lama ya kita ga ketemu, dari kapan ya..?” Rafi coba berpikir. “Dua tahun Raf..” Jawab Shila sambil tersenyum. “Ya.. dua tahun.. gimana kabar kamu sekarang?” Tanya Rafi basa-basi. “Baik.. Kamu sendiri gimana?” Tanya Shila pun basa-basi. “Alhamdulillah baik, gimana kuliahmu?” “Ya seperti biasa, biasa-biasa saja” Jawab Shila sekenanya. “Oh iya, silahkan duduk Shil” Rafi mempersilahkan Shila duduk disampingnya di tempat duduk yang memang disediakan untuk para pengunjung di taman itu. “Raf..” Panggil Shila dengan lembut. “Ya..” Jawab Rafi sambil memandangi pemandangan di depannya. “Maafin aku ya?” Tiba-tiba Shila meminta maaf. “Maaf? Maaf atas apa?” Rafi menoleh sesaat tapi langsung kembali menikmati pemandangan yang berada di depannya sambil mendegupkan kedua telapak tangannya didepan antara bibir dan dagunya dengan menopang tangan dengan kedua sikunya diatas pahanya. Shila terdiam… Cukup lama Shila terdiam, Rafi jadi heran, akhirnya ia menoleh ke arah Shila. “Shil.. Kamu nangis..?” Rafi heran karena melihat Shila yang ternyata sedang mengeluarkan air mata. “Kenapa? Aku punya salah?” Rafi masih heran, Ia bingung apa yang membuat Shila menangis. “Sampai kapan kamu mau begini Raf?” Tanya Shila dalam isak tangisnya. “Maksudmu?” Rafi malah balik bertanya. “Kenapa kamu masih belum punya pasangan?” Tanya Shila tanpa basa-basi lagi. “Hah.. pasangan? Kata siapa aku belum punya pasangan?” Rafi malah heran dengan pertanyaan Shila. “Sudahlah Raf, aku tahu kok” Shila menyuruh Rafi agar serius. Sedangkan Rafi malah tersenyum, tatapannya kembali lurus kedepan. “Shil… Aku ga mau menyakiti kamu” Rafi mulai serius. Shila malah heran mendengarnya. “Menyakiti aku? Kenapa? Kenapa kamu malah tidak mau menyakitiku? Padahal aku sudah sangat menyakitimu?” Tanya Shila heran namun masih tetap menangis. “Aku.. menghargai cinta kamu, kamu tulis disurat itu kalau kamu akan selalu mencintaiku, dari situ aku ga ingin menyakitimu, karena aku tahu, cinta itu pasti berharga banget buat kamu, dan aku ga mau kamu kecewa karena aku menginjak-injak rasa cintamu.. walau aku ga bisa lagi mencintaimu, paling tidak, aku ga mau menyakiti kamu..” Jelas Rafi. “Tapi Raf… sampai kapan kamu terus begini..? Kamu mau bujang selamanya..?” Tanya Shila karena Rafi terlihat bodoh sekali. Sementara Rafi terlihat tersenyum. “Ya.. sampai… kalau sudah saatnya aku harus menjalin sebuah keluarga, aku pasti akan mencari pendampingku, atau.. sampai aku tahu kalau kamu juga sudah tak menghargai cintamu sendiri” Rafi menjelaskan. “Maksudmu?” Shila tak mengerti. “Sampai aku tahu kalau ternyata cintamu itu hanya goresan tinta di atas kertas, bukan sebuah ukiran yang indah di batu intan hati kamu, atau kalau kamu juga sudah punya pasangan, walau pasangan yang hanya sekedar untuk bersenang-senang saja” Jelas Rafi lagi. Shila terdiam, ia menunduk, ia malah semakin menangis. Ternyata Rafi tidak tahu kalau Shila sudah berganti pasangan beberapa kali setelah ia berpisah dengannya. “Raf… apa sekarang sudah waktunya kamu mencari pasanganmu?” Shila menanyakan hal yang aneh. “Hmm.. ya.. karena sebentar lagi aku akan lulus dari kuliahku, tinggal menunggu beberapa bulan lagi” Jawab Rafi. “Dan.. apakah sudah ada calonnya?” Tanya Shila. “Hmm.. sepertinya sudah” Rafi menjawab seperti itu karena tidak mau kalau Shila tiba-tiba menawarkan diri. Shila terdiam. “Okelah Raf, jaga diri baik-baik ya, semoga kamu bahagia dengannya” Shila undur diri dari Rafi, ia tidak mau lagi menyakiti hati Rafi. Shila tahu diri, bahwa ia tidak pantas untuk mendampingi Rafi. Namun didalam hatinya, Shila telah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa saat ini hingga nanti, ia akan menghargai cintanya untuk pendampingnya nanti. Dan dia akan menjaga cinta itu agar bisa abadi. Rafi hanya tersenyum kecil menjawab ucapan Shila. Shila melangkah menjauhi Rafi, sementara Rafi masih terus memandangi pemandangan didepannya. Dan tanpa Shila sadari, ternyata Rafi sedang meneteskan air mata ketika Shila pun masih meneteskan air mata. ‘Maafkan aku Raf’ ‘Maafkan aku Shil’ Bathin mereka berkata secara bersamaan. Tafahna, 20 Januari 2009 Pukul 13:43 Al-Faqir ila Rahmati Rabbihi Mudhafi al-‘Abqary

Cerpen

“Harapan Dibalik Bukit”
Berjalan tanpa arah… Berlari tanpa tujuan… Melihat tanpa harapan…
Gugah, bimbang dan gelisah jadi satu…
Itulah perasaanku saat ini…
“Ya Allah…! Apa yang terjadi dengan diri hamba ini sekarang…? Apa ya Allah…? Ada apa dengan diri hamba ini ya Allah…? Ada apa…? Kenapa hamba jadi tidak tenang seperti ini? Please ya Allah… Tunjuki hamba jalan-Mu yang lurus… Please Allah…! Bimbing hamba… Aku buta tanpa cahaya-Mu aku mati tanpa rahmat-Mu… Please ya Allah…!” Suaraku menggema… Aku berteriak keras dilereng bukit didesa tempat tinggalku… Desa yang cukup terpencil dari kota, desa yang masih segar udaranya dengan rerimbunan pohon yang menghiasinya, juga sungai yang mengalir ditengah-tengahnya, memperindah desa kelahiranku. Disinilah aku lahir juga dibesarkan, disini juga tempatku mengadukan keluh kesahku dalam menghadapi segala macam fatamorgana dunia yang selalu mengiming-imingkan kesenangan.
Sambil menangis kuberdiri, kutatap bukit yang tampak kokoh dan angkuh itu, kuberjanji aku takan kalah dengan bukit itu, akupun akan tegar dan kuat dalam menghadapi segala macam ujian-Nya. “Hai hazma! Kau harus tegar! Jangan kau menjadi manusia yang lemah! Kau harus mampu menerjang semua badai yang menerpamu! Ingat itu baik-baik hazma…! Ukirlah dalam hatimu – Lailahaillallah Muhammadurrasulallah…!

Selama aku masih mempunyai kekuatan…
Untuk melawan kemaksiatan…
Walau hanya mampu menggerakan jari tangan…
Aku harus terus berjuang dan melawan, demi nama islam…!
Allahuakbar…!
Dengan menyisakan beberapa airmata diwajah, aku beranjak pergi menuju gubuk tempat tinggalku, dalam hati aku masih menyisakan beragam pertanyaan yang belum kutemui jawabannya.
Ditengah jalan kumenemui seekor kelinci liar sedang mencari makan, aku mencermatinya dengan seksama, begitu tenang kelinci itu mencari makan hingga tak menyadari pengintaianku, srek! Kakiku menginjak sehelai daun kering, seketika itu juga kelinci itu lari karena sadar bahwa aku sedang mengintainya, secara tiba-tiba harimau mencengkeramnya, beruntung kelinci itu lolos dari cakaran harimau itu, terjadilah perburuan, tapi aku hanya mengusap-usap dada, bersyukur karena bukan aku yang menjadi kelinci itu, seketika itu aku sadar, aku bukan apa-apa didunia ini, lemah… Ya aku hanya manusia lemah.
Akhirnya selang beberapa menit sampailah aku digubuk tua yang sebenarnya sudah tak layak huni, tapi inilah rumahku, “Rumahku Syurgaku” pedoman itu kupakai sampai sekarang. Bapakku sudah meninggal, hanya aku dan emak yang tinggal di gubuk tua ini, walau begitu kurasakan aroma syurga berada digubuk ini.
“Assalamu’alaikum… Mak! Aku pulang!” Teriakku
“Wa’alaikumsalam…kemana aja kamu, kok sore-sore gini baru pulang?” Tanya Emak dengan sedikit heran.
“Dari lereng Mak” Jawabku
“Apa! Dari lereng…? Emakkan udah bilang, jangan kamu main-main kelereng itu lagi, karena lereng itulah yang telah membunuh Bapakmu, kamu dengar itu!” perintah emak dengan suara yang agak serak.
“Iya Mak” Aku hanya mengiyakan, padahal aku tidak setuju dengan ultimatum yang diberikan Emak, ‘Memang bapak hilang didekat lereng itu, tapi bukan lereng yang membunuhnya’, teriakku dalam hati, hanya dalam hati kumenolak, karena ku tak mau mengecewakan Emak yang telah mengandungku juga merawatku sampai sekarang. Apalagi aku ingat akan perkataan guru agamaku waktu SD, “Jangan berkata ah apalagi ucapan yang membuat orangtuamu kecewa” Suara guruku masih terekam jelas dikepalaku.
“Kamu sudah shalat Ashar?” Tanya emakku yang memberhentikan lamunanku.
“Astaghfirullah… belum Mak”
“Sudah sana cepat ambil wudhu” Perintah emakku
Seketika itu juga aku pergi mengambil wudhu disungai tak jauh dari rumahku.

#####

Crak! Crak! Crak! Dengan semangat kumenebang kayu, walau keringat membasahi seluruh tubuhku, dar der dor!!! Tiba-tiba terdengar suara senapan dari kejauhan, sempat aku terkejut, tapi setelah itu aku berpikir, ‘Ah itu mungkin hanya pemburu yang mencari buruannya, ini kan hutan’. Segera ku teruskan pekerjaanku.
Setelah menebang cukup banyak kayu, aku kembali pulang, setiba dihalaman rumah aku merasakan keheningan yang tak seperti biasanya.
“Assalamu’alaikum…” Teriakku.
Hening, tak ada jawaban.
“Mak aku pulang, tau ga Mak tadi aku men…” Bagai petir di tengah hari, bagai badai ditengah lautan.
“Emaaaaaaaaaaak!!!” Teriakku mengalahkan guntur, seketika itu juga aku berlari memeluk jasad emak yang sudah tak bernyawa lagi.
Dar! Der! Dor! Terdengar kembali suara senapan dari lereng bukit, tanpa pikir panjang lagi, segera aku berlari keluar, berharap bisa menemukan sumber suara itu. Dengan perasaan sedih campur kesal, aku berlari bagai harimau berlari mengejar mangsanya, dalam pikiranku, pasti emakku tertembak oleh peluru itu.
Tak berapa lama aku berhasil menemukan sumber suara, yang tak lain adalah baku tembak antara militer RI dengan GAM, seketika itu juga aku membanting tubuhku kesemak-semak, berharap tak ada yang melihat kedatanganku. Kuangkat sedikit tubuhku. Srek! Srek! Srek! Terdengar suara langkah mendekatiku, tiba-tiba sudah ada mulut senapan diatas kepalaku.
“Siapa kamu?!” Tanyanya dengan nada geram, BHUUKK! Tiba-tiba semuanya menjadi gelap…
{“Wah pak, kenapa langsung dipukul, belum tentu dia musuh kita” Tanya seorang bawahan kepada atasannya.
“Ah sudahlah, bawa saja dia ke markas” Perintah atasannya.
Kemudian Hazma dibawa kemarkas oleh beberapa orang tadi, tak berapa lama mereka sampai dimarkas.
“Pak, sebaiknya kita apakan anak muda ini”
“Aku ada usul, gimana kalau dia kita bius dan kita bawa ke Palestina, sepertinya dia terlihat kuat, lihat tubuhnya yang kekar ini” usul salah seorang yang berada diruangan itu.
“Ide bagus, kebetulan kita masih butuh orang dipalestina sana”.
Akhirnya Hazma diberi obat bius dan obat pencukup gizi, agar tubuhnya tidak lemah dan sakit.}

#####

Putih… mataku menangkap setitik cahaya, walau redup,
“Ayo cepat bangun!” Gertakan suara yang kasar membangunkanku, kepalaku masih terlalu pusing untuk mengenali dimana aku sekarang. Suatu bangunan persegi panjang, yang tampaknya sudah tua sekali, temboknya pun sudah berguguran dimakan usia.
“Cepat bangun!!!” Kembali gertakan menghantui seisi bangunan,
“Cepat berkumpul dilapangan” Perintahnya, kulihat orang-orang disekelilingku mematuhi perintahnya, akupun ikut-ikutan mematuhinya.
"Semua sudah siap?" Tanyanya dengan nada seperti seorang jendral yang menyiapkan pasukan. Aku hanya diam, tak mengerti apa yang sedang terjadi sekarang, dan skenario Tuhan apalagi yang akan kumainkan ini. Aku hanya mendengar sayup-sayup suara seperti jendral itu, aku masih berusaha mengingat-ingat apa yang membawaku kemari, belum sampai aku mengingat memoriku, semua orang sudah beranjak dari tempatnya.
"Maaf pak, kita sekarang ada dimana?" Tanyaku penasaran kepada sosok seseorang yang sudah tua yang sedang berjalan didekatku.
"Ya salam! masa kau tidak tahu, kita sekarang berada di Palestina bah" Jawabnya dengan logat batak.
"Di… Palestina…???" Aku baru sadar kalau aku sedang berada dinegri Jihad.
"Ya, kau dipalestina sekarang" Jawabnya.
Aku tak sanggup berpikir, aku hanya ingat, bahwa emakku sudah meninggal, dan aku waktu itu…
"Hei! Kenapa kau masih berdiri disitu saja? Ayo cepat, kau mau berjuta-juta peluru menghujam tubuh kau itu?".
Aku masih belum sepenuhnya mengerti, apa yang terjadi sekarang,
"Pak, sebenarnya kita mau kemana? Dan kita akan melakukan apa?" Tanyaku dengan kepala dipenuhi tanda tanya.
"Ya salam… Kau masih tidur ya? Kita ini mau berperang, sekarang kita akan menyerang markas tentara israel dibalik bukit itu" Terang dia seraya menunjukan salah satu bukit kepadaku.
"Kau lihat bukit itu? Dibalik bukit itulah ada gedung yang bermuatan amunisi yang cukup banyak kepunyaan tentara zionis yahudi, kita akan menyerangnya untuk mengambil alih dan menguasainya” Lanjutnya.
“Nama bapak siapa?” Tiba-tiba saja ku menanyakan hal itu.
“Ahmad Poltax” Jawabnya.
“Kalau kau punya nama siapa?” tanyanya.
Terasa ada yang aneh dengan nama itu, tapi… ah biarlah.
“Hazma” jawabku.
“Apa!!!” Tiba-tiba dia terkejut,
“Kau Hazma?” Tanyanya penuh penasaran,
“Ya, aku Hazma” jawabku,
“Nama lengkap kau siapa?”
“Muhammad Hazma Sya’rowi”
“Kau tinggal dimana?” Dia semakin penasaran,
“Di pedalaman desa di Aceh besar”
“Kau tinggal sama siapa nak?”
“Sama Ibuku, memangnya ada apa? Kok Bapak kelihatan penasaran sekali”
“Bapakmu dimana?” Ia tak menggubris pertanyaanku.
“Kata emak, bapak sudah meninggal sejak aku masih kecil”
Kemudian Ia meraba-raba tubuhku dan mencari-cari sesuatu ditangan kananku.
“Kau…kau… adalah anakku” Terang dia seraya memelukku. ‘Anak..?’ Bapak ini aneh sekali pikirku.
“Maaf Pak, bagaimana aku yakin kalau anda adalah Bapakku?” Tanyaku seraya melepaskan pelukannya.
“Kau tinggal bersama ibumu, yang bernama Nur’azizah, benar kan?!” Mendengar nama itu aku kaget, apa benar dia ini bapakku? Setelah 20 tahun aku tak pernah menemuinya.
“Kau mempunyai tanda disebelah tangan kananmu?” Pertanyaan dia sungguh tak perlu dijawab, semuanya benar.
“Bapak…!” Spontan aku memeluknya dan tak terasa airmata mengalir dipipiku juga pipinya.

#####

Dhuar!!! Booom!!! Blaaarrr!!! Baku hantam antara tentara Israel dengan pasukan kami tak terelakan lagi, peluru menari dimana-mana, rudal berkeliaran disekeliling kami… Dhuuuuum!!! Tettettettettettet!!! Suara senapan mesin begitu nyaring.
“PAK! BERIKAN AKU SEBUAH GRANAT!” Pintaku kepada Bapak dengan suara yang keras, karena terlalu bisingnya suasana peperangan saat itu.
“BUAT APA KAU NAK?” Tanyanya.
“BUAT MENGHANCURKAN GEDUNG ITU” Jawabku.
“BODOH KAU, KAU INGIN MATI LEBIH CEPAT?!” Tegasnya menolak permintaanku.
Dhuar!!! Tiba- tiba satu peluru bersarang di dada Bapakku.
“BAPAAAAAK!!!” Teriakku, haruskah kedua kalinya orangtuaku terbunuh karena peluru??? Bisakah ku menerima kenyataan ini?
“Bapak ga apa-apa kan?” tanyaku dengan suara parau.
“Nak… uhkh..uhkh.. Bapak sudah tua, tak selincah kau yang masih muda” Tukasnya.
“Kau harus menghancurkan tentara zionis itu, kau harus janji ke Bapak?!” Pintanya kepadaku, aku hanya mengangguk kecil dengan airmata yang terus keluar dari mataku. Tiba-tiba saja bapakku sudah tak bergerak apalagi bernapas.
Innalillahi wainnalillahi raji’un… Kedua kalinya aku harus melihat orangtuaku meninggal karena peluru. Dengan hati yang geram aku bangkit, ku angkat tubuhku. Dengan sebuah granat, aku berjalan maju dikeramaiannya peperangan. Peluru menari-nari disekitarku, aku berlari mencoba mendekat ke gedung itu. Dhuar! Satu peluru tepat mengenai dada sebelah kananku. Bagai pisau panas menancap didadaku, namun rasa sakit tak kuhiraukan lagi. Sambil berlari aku terus berusaha menghindari ribuan peluru yang berterbangan disekitarku. Aku melihat satu peluru tepat didepanku, ya! Jelas sekali aku melihatnya. Bagai kelinci menghindari cakaran harimau, terhindar! Aku baru saja menghindari satu peluru, sungguh pertolongan Allah begitu dekat. Didalam hati aku terus menerus berdzikir. Wuuusshh!!! Baru saja satu rudal mengenai 3 helai rambutku. Selamat! Aku selamat, terlambat kurang dari 0,25 detik saja aku merunduk, mungkin kepalaku sudah hancur karena rudal itu. Terus ku berlari. Dhuar!!! Satu peluru lagi bersarang dipundak kiriku, aku terjatuh, tapi aku segera bangkit kembali. Kurang lebih hanya 70 meter antara aku dengan gedung itu, tak pikir panjang, segera aku melempar granat yang sejak tadi berada di tangan kananku, berhasil…! Granat yang baru saja kulempar berhasil masuk kelubang pentilasi udara yang berukuran kurang lebih 8x7 cm itu. Aku tersenyum, namun tanpa kusadari senapan mesin telah mengintai tubuhku. Tettettettetttettettett!!!! Peluru peluru itu langsung menghujam tubuhku tanpa belas kasih, bagai belati yang terus-terusan mencabik-cabik tubuhku, bagai mesin pemotong yang terus-terusan mencoba menghancurkan tubuh serta tulang-tulangku. Mataku mulai meredup, cahaya mulai menghitam, hanya sebuah senyum yang masih bisa kuberikan kepada dunia, namun sepertinya akan menjadi senyuman yang terakhir kali, tidak! Aku yakin aku masih bisa tersenyum dilain waktu. Ya… diakhirat aku akan tersenyum. Prinsip hidup mulia atau mati syahid telah kuraih… Tiba-tiba bayang-bayang wajah emak dan bapak terlintas dikepalaku, ‘Emak… Bapak… aku rindu kalian…’ Ucapku dalam hati. Aku hanya bisa mendengar ledakan yang sangat keras untuk terakhir kali… Tiba-tiba semua menjadi gelap…


September 2007 M.

Al-Faqir ila Rahmati Rabbihi
Mudhafi al-‘Abqary

cerbung

“Qol’ah Cinta”

Hitam…semua hitam… tiba2 mataku menangkap setitik cahaya, walau buram…
Dimana aku? Apa yang terjadi denganku? Tanyaku dalam hati,
“ri…kamu sudah siuman sayang?” siuman? Apakah tadi aku tak sadakan diri? Tanyaku masih didalam hati saja,,,
“a..apa yang terjadi denganku?” tanyaku dengan nada yang terbata-bata
“kamu mengalami kecelakaan”
APA??!! Kecelakaan?
Tiba2 semua menjadi gelap…

###
“apa dok! HIV? Apa tidak salah? Anakku kan kecelakaan, bukan berhubungan seks, mungkin dokter salah, coba periksa lagi dok!”
“maaf bu, alat diagnosa kami tak mungkin salah”
“tapi dok”
“maaf bu,,, ini kenyataan, permisi”
“hiks…hiks… tidak mungkin, ti…tidak mungkin..!”
###
“apa yang harus kita lakukan yah?”
“ayah juga bingung bu”
“ngg…” aku terbangun dari tidurku yang cukup panjang
“ri… kamu sudah siuman lagi sayamg?” Tanya ibuku penuh perhatiaan
“a..ada apa denganku bu?” dengan suara yang berat, aku bertanya pada ibu
“tidak ada apa2 sayang, kamu istirahat saja dulu” jawab ibu
“iya ri, kamu istirahat dulu” ayahku juga menimpali
“iya tapi ada apa bu?” tanyaku penasaran dan dengan suara yang ku tinggikan
Ibuku mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang,,, tangankupun dipegangnya, tiba2 kulihat dari mata ibu keluar air mata, kenapa? Kenapa ibuku sampai menangis? Ada apa denganku? tanyaku dalam hati
“kenapa bu..? ibu kok menangis?” tanyaku dengan suara yang pelan sekali, namun karena pertanyaanku, ayah malah pergi meninggalkan kami berdua,
“tidak ada apa2 sayang” jawab ibu dengan suara yang agak serak
“kemarin, kata ibu, aku kecelakaan ya?” tanyaku dengan hati penasaran
“iya sayang, kata teman2mu, kamu kecelakaan, dan sudah dari 3 hari yang lalu kamu dirawat dirumah sakit ini”
“kecelakaan apa bu? Emangnya aku lagi dimana dan sedang apa?” tanyaku lagi
“hmm… begini, ketika kamu sedang berjalan, ada bis dibelakangmu yang melaju cukup cepat, tapi kamu tidak tahu kalau ada bis dibelakangmu, sebenarnya teman2mu sudah memberitahumu, bahkan ada yang meneriaki kamu, tapi kamu seperti dirasuki setan, sehingga kamu tetap berjalan tanpa menghindar sedikitpun, akhirnya bis itu menyerempet kamu, lalu kamu jatuh tak sadarkan diri, hingga kemarin kamu baru sadar, walau sesaat…” ibuku menjelaskan panjang lebar tentang apa yang terjadi denganku
“oh iya,,, ini ada sesuatu dari azkiya… kemarin dia kemari, tapi karena kamu masih tak sadarkan diri, dia hanya titip salam aja, ini coba kamu yang periksa, belum ibu apa2kan kok,”
Perlahan kubuka plastik hitam sedang yang diberikan ibu, didalamnya ada kotak kecil berwarna biru muda, kira-kira apa ya isinya? Kubuka dengan perlahan kotak tersebut,,, dan…
wah… sebuah surat bermotif bunga-bunga kecil berwarna merah muda, dan… album fhoto kecil.?? Kira-kira gambar siapa aja ya yang ada di dalam album itu..? aku bertanya dalam hati, hmm…
“apa ri isinya?” ibuku menggoda
“bukan apa-apa kok bu” jawabku
“hmm… ibu ngga boleh tahu nih?”
“ibu…?!”
“iya deh, ibu keluar”
“ih… ibu, jangan donk”
“ibu faham kok, lagipula ibu mau cari makan nih”
“oh… kalau begitu hati2 ya bu… banyak satpam nakal,” candaku sambil tersenyum
“eit,,, tenang sayang, dulu waktu ibu masih SMA, ibu 3 tahun loh belajar ilmu beladiri dibanten”
“wah… hebat donk”
“iya donk, tapi baru bisa tinju aja,” canda ibu sambil tertawa kecil
“udah ah, klo begini terus kapan ibu keluarnya” lanjut ibu masih sambil tersenyum
“ibu sih… yang mulain, tapi ayah mana bu?” tanyaku
“oh… ayah tadi keluar, mungkin cari makan, ibu pergi dulu ya, nanti kalau ada apa-apa, panggil dokter aja, itu didekat tempat tidur kamu ada tombol merah, kamu tekan aja kalau kamu butuh apa-apa, ibu ga lama kok, baik-baik ya”
“iya bu, ibu juga”
Setelah mengambil tas kecil berwarna coklat dimeja sebelah kananku, ibu berlalu dengan suara pintu yang tertutup.
Ibu, sungguh mulia hatimu, tidak akan ada yang bisa menandingi keikhlasan dan ketulusan kasih sayangmu.
Oh iya, aku tadi mau lihat bingkisan dari azkiya, apa dulu ya yang aku lihat, album duluan aja deh, setelah ku buka…hah…! Fhoto-fhoto aku? Kok bisa? Dari mana? Beribu-ribu pertanyaan muncul dikepalaku… lalu disaat kepalaku masih berpikir, mataku menangkap sebuah surat, daripada kepalaku jadi pusing, lebih baik aku baca aja nih surat, kira-kira apa ya tulisannya?

Dear : Shaffi Azharil Maula
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Kamu pasti kaget ketika kamu menerima album itu… dan juga ketika kamu melihat siapa yang ada di dalam album itu…
Dan kamu pasti heran, kenapa aku mengirim surat kepadamu,,,
Sebelumnya aku minta maaf, karena sudah lancang mengirim surat padamu, tapi… aku akan menulis semua perasaanku disini, yang sudah kusimpan bertahun-tahun, dan telah cukup membuatku menderita tekanan batin, sebenarnya… aku sudah lama memperhatikanmu, tapi karena kamu sudah memiliki seseorang dihatimu, kusimpan dalam-dalam perasaanku ini, tapi… entah mengapa aku tidak bisa melupakan dirimu, sudah berulang kali aku mencoba membuang jauh-jauh bayangmu serta rasa ini, tapi… semakin kubuang rasa ini, malah semakin bertambah rasa ini, akupun tak tahu, apa yang terjadi dengan diriku, mungkin orang-orang akan menganggapku gila, tapi biarlah… selama aku masih mencintai Allah, juga bertaqwa kepadaNya, aku akan terima semua ocehan serta omongan orang dengan hati yang lapang, karena… aku percaya bahwa Allah Maha Adil, dan akupun yakin dengan kebijaksanaanNya, aku sangat terkejut ketika aku mendengar kabar kalau kamu mengalami kecelakaan dan sedang dirawat dirumah sakit, seharusnya aku tidak pantas mengirim surat disaat keadaanmu yang seperti ini, aku sadar aku salah, tapi… aku ga mau kehilangan kamu, aku begitu mencintaimu, aku… aku…
Mungkin aku sudah lancang sekali dan mungkin aku juga telah membuatmu marah, aku menulis surat ini hanya untuk mengurangi beban perasaanku yang terlalu berat ini, bukan bermaksud mengganggumu atau menambah bebanmu, tidak! Bukan itu maksudku, aku hanya ingin kamu tahu dan aku tidak memerlukan jawaban apapun dari kamu, karena aku mengerti, dan selamanya aku akan mengerti kamu… karena selamanya kamu akan tetap ada dihati…
Wassalamu’alaikum wr. Wb.
Fatimatul Azkiya
To Be Continued...
 

Blogger news

Blogroll

About