“Harapan Dibalik Bukit”Berjalan tanpa arah… Berlari tanpa tujuan… Melihat tanpa harapan…
Gugah, bimbang dan gelisah jadi satu…Itulah perasaanku saat ini…“Ya Allah…! Apa yang terjadi dengan diri hamba ini sekarang…? Apa ya Allah…? Ada apa dengan diri hamba ini ya Allah…? Ada apa…? Kenapa hamba jadi tidak tenang seperti ini? Please ya Allah… Tunjuki hamba jalan-Mu yang lurus… Please Allah…! Bimbing hamba… Aku buta tanpa cahaya-Mu aku mati tanpa rahmat-Mu… Please ya Allah…!” Suaraku menggema… Aku berteriak keras dilereng bukit didesa tempat tinggalku… Desa yang cukup terpencil dari kota, desa yang masih segar udaranya dengan rerimbunan pohon yang menghiasinya, juga sungai yang mengalir ditengah-tengahnya, memperindah desa kelahiranku. Disinilah aku lahir juga dibesarkan, disini juga tempatku mengadukan keluh kesahku dalam menghadapi segala macam fatamorgana dunia yang selalu mengiming-imingkan kesenangan.Sambil menangis kuberdiri, kutatap bukit yang tampak kokoh dan angkuh itu, kuberjanji aku takan kalah dengan bukit itu, akupun akan tegar dan kuat dalam menghadapi segala macam ujian-Nya. “Hai hazma! Kau harus tegar! Jangan kau menjadi manusia yang lemah! Kau harus mampu menerjang semua badai yang menerpamu! Ingat itu baik-baik hazma…! Ukirlah dalam hatimu – Lailahaillallah Muhammadurrasulallah…!
Selama aku masih mempunyai kekuatan…
Untuk melawan kemaksiatan…
Walau hanya mampu menggerakan jari tangan…
Aku harus terus berjuang dan melawan, demi nama islam…!
Allahuakbar…!
Dengan menyisakan beberapa airmata diwajah, aku beranjak pergi menuju gubuk tempat tinggalku, dalam hati aku masih menyisakan beragam pertanyaan yang belum kutemui jawabannya.
Ditengah jalan kumenemui seekor kelinci liar sedang mencari makan, aku mencermatinya dengan seksama, begitu tenang kelinci itu mencari makan hingga tak menyadari pengintaianku, srek! Kakiku menginjak sehelai daun kering, seketika itu juga kelinci itu lari karena sadar bahwa aku sedang mengintainya, secara tiba-tiba harimau mencengkeramnya, beruntung kelinci itu lolos dari cakaran harimau itu, terjadilah perburuan, tapi aku hanya mengusap-usap dada, bersyukur karena bukan aku yang menjadi kelinci itu, seketika itu aku sadar, aku bukan apa-apa didunia ini, lemah… Ya aku hanya manusia lemah.
Akhirnya selang beberapa menit sampailah aku digubuk tua yang sebenarnya sudah tak layak huni, tapi inilah rumahku, “Rumahku Syurgaku” pedoman itu kupakai sampai sekarang. Bapakku sudah meninggal, hanya aku dan emak yang tinggal di gubuk tua ini, walau begitu kurasakan aroma syurga berada digubuk ini.
“Assalamu’alaikum… Mak! Aku pulang!” Teriakku
“Wa’alaikumsalam…kemana aja kamu, kok sore-sore gini baru pulang?” Tanya Emak dengan sedikit heran.
“Dari lereng Mak” Jawabku
“Apa! Dari lereng…? Emakkan udah bilang, jangan kamu main-main kelereng itu lagi, karena lereng itulah yang telah membunuh Bapakmu, kamu dengar itu!” perintah emak dengan suara yang agak serak.
“Iya Mak” Aku hanya mengiyakan, padahal aku tidak setuju dengan ultimatum yang diberikan Emak, ‘Memang bapak hilang didekat lereng itu, tapi bukan lereng yang membunuhnya’, teriakku dalam hati, hanya dalam hati kumenolak, karena ku tak mau mengecewakan Emak yang telah mengandungku juga merawatku sampai sekarang. Apalagi aku ingat akan perkataan guru agamaku waktu SD, “Jangan berkata ah apalagi ucapan yang membuat orangtuamu kecewa” Suara guruku masih terekam jelas dikepalaku.
“Kamu sudah shalat Ashar?” Tanya emakku yang memberhentikan lamunanku.
“Astaghfirullah… belum Mak”
“Sudah sana cepat ambil wudhu” Perintah emakku
Seketika itu juga aku pergi mengambil wudhu disungai tak jauh dari rumahku.
#####
Crak! Crak! Crak! Dengan semangat kumenebang kayu, walau keringat membasahi seluruh tubuhku, dar der dor!!! Tiba-tiba terdengar suara senapan dari kejauhan, sempat aku terkejut, tapi setelah itu aku berpikir, ‘Ah itu mungkin hanya pemburu yang mencari buruannya, ini kan hutan’. Segera ku teruskan pekerjaanku.
Setelah menebang cukup banyak kayu, aku kembali pulang, setiba dihalaman rumah aku merasakan keheningan yang tak seperti biasanya.
“Assalamu’alaikum…” Teriakku.
Hening, tak ada jawaban.
“Mak aku pulang, tau ga Mak tadi aku men…” Bagai petir di tengah hari, bagai badai ditengah lautan.
“Emaaaaaaaaaaak!!!” Teriakku mengalahkan guntur, seketika itu juga aku berlari memeluk jasad emak yang sudah tak bernyawa lagi.
Dar! Der! Dor! Terdengar kembali suara senapan dari lereng bukit, tanpa pikir panjang lagi, segera aku berlari keluar, berharap bisa menemukan sumber suara itu. Dengan perasaan sedih campur kesal, aku berlari bagai harimau berlari mengejar mangsanya, dalam pikiranku, pasti emakku tertembak oleh peluru itu.
Tak berapa lama aku berhasil menemukan sumber suara, yang tak lain adalah baku tembak antara militer RI dengan GAM, seketika itu juga aku membanting tubuhku kesemak-semak, berharap tak ada yang melihat kedatanganku. Kuangkat sedikit tubuhku. Srek! Srek! Srek! Terdengar suara langkah mendekatiku, tiba-tiba sudah ada mulut senapan diatas kepalaku.
“Siapa kamu?!” Tanyanya dengan nada geram, BHUUKK! Tiba-tiba semuanya menjadi gelap…
{“Wah pak, kenapa langsung dipukul, belum tentu dia musuh kita” Tanya seorang bawahan kepada atasannya.
“Ah sudahlah, bawa saja dia ke markas” Perintah atasannya.
Kemudian Hazma dibawa kemarkas oleh beberapa orang tadi, tak berapa lama mereka sampai dimarkas.
“Pak, sebaiknya kita apakan anak muda ini”
“Aku ada usul, gimana kalau dia kita bius dan kita bawa ke Palestina, sepertinya dia terlihat kuat, lihat tubuhnya yang kekar ini” usul salah seorang yang berada diruangan itu.
“Ide bagus, kebetulan kita masih butuh orang dipalestina sana”.
Akhirnya Hazma diberi obat bius dan obat pencukup gizi, agar tubuhnya tidak lemah dan sakit.}
#####
Putih… mataku menangkap setitik cahaya, walau redup,
“Ayo cepat bangun!” Gertakan suara yang kasar membangunkanku, kepalaku masih terlalu pusing untuk mengenali dimana aku sekarang. Suatu bangunan persegi panjang, yang tampaknya sudah tua sekali, temboknya pun sudah berguguran dimakan usia.
“Cepat bangun!!!” Kembali gertakan menghantui seisi bangunan,
“Cepat berkumpul dilapangan” Perintahnya, kulihat orang-orang disekelilingku mematuhi perintahnya, akupun ikut-ikutan mematuhinya.
"Semua sudah siap?" Tanyanya dengan nada seperti seorang jendral yang menyiapkan pasukan. Aku hanya diam, tak mengerti apa yang sedang terjadi sekarang, dan skenario Tuhan apalagi yang akan kumainkan ini. Aku hanya mendengar sayup-sayup suara seperti jendral itu, aku masih berusaha mengingat-ingat apa yang membawaku kemari, belum sampai aku mengingat memoriku, semua orang sudah beranjak dari tempatnya.
"Maaf pak, kita sekarang ada dimana?" Tanyaku penasaran kepada sosok seseorang yang sudah tua yang sedang berjalan didekatku.
"Ya salam! masa kau tidak tahu, kita sekarang berada di Palestina bah" Jawabnya dengan logat batak.
"Di… Palestina…???" Aku baru sadar kalau aku sedang berada dinegri Jihad.
"Ya, kau dipalestina sekarang" Jawabnya.
Aku tak sanggup berpikir, aku hanya ingat, bahwa emakku sudah meninggal, dan aku waktu itu…
"Hei! Kenapa kau masih berdiri disitu saja? Ayo cepat, kau mau berjuta-juta peluru menghujam tubuh kau itu?".
Aku masih belum sepenuhnya mengerti, apa yang terjadi sekarang,
"Pak, sebenarnya kita mau kemana? Dan kita akan melakukan apa?" Tanyaku dengan kepala dipenuhi tanda tanya.
"Ya salam… Kau masih tidur ya? Kita ini mau berperang, sekarang kita akan menyerang markas tentara israel dibalik bukit itu" Terang dia seraya menunjukan salah satu bukit kepadaku.
"Kau lihat bukit itu? Dibalik bukit itulah ada gedung yang bermuatan amunisi yang cukup banyak kepunyaan tentara zionis yahudi, kita akan menyerangnya untuk mengambil alih dan menguasainya” Lanjutnya.
“Nama bapak siapa?” Tiba-tiba saja ku menanyakan hal itu.
“Ahmad Poltax” Jawabnya.
“Kalau kau punya nama siapa?” tanyanya.
Terasa ada yang aneh dengan nama itu, tapi… ah biarlah.
“Hazma” jawabku.
“Apa!!!” Tiba-tiba dia terkejut,
“Kau Hazma?” Tanyanya penuh penasaran,
“Ya, aku Hazma” jawabku,
“Nama lengkap kau siapa?”
“Muhammad Hazma Sya’rowi”
“Kau tinggal dimana?” Dia semakin penasaran,
“Di pedalaman desa di Aceh besar”
“Kau tinggal sama siapa nak?”
“Sama Ibuku, memangnya ada apa? Kok Bapak kelihatan penasaran sekali”
“Bapakmu dimana?” Ia tak menggubris pertanyaanku.
“Kata emak, bapak sudah meninggal sejak aku masih kecil”
Kemudian Ia meraba-raba tubuhku dan mencari-cari sesuatu ditangan kananku.
“Kau…kau… adalah anakku” Terang dia seraya memelukku. ‘Anak..?’ Bapak ini aneh sekali pikirku.
“Maaf Pak, bagaimana aku yakin kalau anda adalah Bapakku?” Tanyaku seraya melepaskan pelukannya.
“Kau tinggal bersama ibumu, yang bernama Nur’azizah, benar kan?!” Mendengar nama itu aku kaget, apa benar dia ini bapakku? Setelah 20 tahun aku tak pernah menemuinya.
“Kau mempunyai tanda disebelah tangan kananmu?” Pertanyaan dia sungguh tak perlu dijawab, semuanya benar.
“Bapak…!” Spontan aku memeluknya dan tak terasa airmata mengalir dipipiku juga pipinya.
#####
Dhuar!!! Booom!!! Blaaarrr!!! Baku hantam antara tentara Israel dengan pasukan kami tak terelakan lagi, peluru menari dimana-mana, rudal berkeliaran disekeliling kami… Dhuuuuum!!! Tettettettettettet!!! Suara senapan mesin begitu nyaring.
“PAK! BERIKAN AKU SEBUAH GRANAT!” Pintaku kepada Bapak dengan suara yang keras, karena terlalu bisingnya suasana peperangan saat itu.
“BUAT APA KAU NAK?” Tanyanya.
“BUAT MENGHANCURKAN GEDUNG ITU” Jawabku.
“BODOH KAU, KAU INGIN MATI LEBIH CEPAT?!” Tegasnya menolak permintaanku.
Dhuar!!! Tiba- tiba satu peluru bersarang di dada Bapakku.
“BAPAAAAAK!!!” Teriakku, haruskah kedua kalinya orangtuaku terbunuh karena peluru??? Bisakah ku menerima kenyataan ini?
“Bapak ga apa-apa kan?” tanyaku dengan suara parau.
“Nak… uhkh..uhkh.. Bapak sudah tua, tak selincah kau yang masih muda” Tukasnya.
“Kau harus menghancurkan tentara zionis itu, kau harus janji ke Bapak?!” Pintanya kepadaku, aku hanya mengangguk kecil dengan airmata yang terus keluar dari mataku. Tiba-tiba saja bapakku sudah tak bergerak apalagi bernapas.
Innalillahi wainnalillahi raji’un… Kedua kalinya aku harus melihat orangtuaku meninggal karena peluru. Dengan hati yang geram aku bangkit, ku angkat tubuhku. Dengan sebuah granat, aku berjalan maju dikeramaiannya peperangan. Peluru menari-nari disekitarku, aku berlari mencoba mendekat ke gedung itu. Dhuar! Satu peluru tepat mengenai dada sebelah kananku. Bagai pisau panas menancap didadaku, namun rasa sakit tak kuhiraukan lagi. Sambil berlari aku terus berusaha menghindari ribuan peluru yang berterbangan disekitarku. Aku melihat satu peluru tepat didepanku, ya! Jelas sekali aku melihatnya. Bagai kelinci menghindari cakaran harimau, terhindar! Aku baru saja menghindari satu peluru, sungguh pertolongan Allah begitu dekat. Didalam hati aku terus menerus berdzikir. Wuuusshh!!! Baru saja satu rudal mengenai 3 helai rambutku. Selamat! Aku selamat, terlambat kurang dari 0,25 detik saja aku merunduk, mungkin kepalaku sudah hancur karena rudal itu. Terus ku berlari. Dhuar!!! Satu peluru lagi bersarang dipundak kiriku, aku terjatuh, tapi aku segera bangkit kembali. Kurang lebih hanya 70 meter antara aku dengan gedung itu, tak pikir panjang, segera aku melempar granat yang sejak tadi berada di tangan kananku, berhasil…! Granat yang baru saja kulempar berhasil masuk kelubang pentilasi udara yang berukuran kurang lebih 8x7 cm itu. Aku tersenyum, namun tanpa kusadari senapan mesin telah mengintai tubuhku. Tettettettetttettettett!!!! Peluru peluru itu langsung menghujam tubuhku tanpa belas kasih, bagai belati yang terus-terusan mencabik-cabik tubuhku, bagai mesin pemotong yang terus-terusan mencoba menghancurkan tubuh serta tulang-tulangku. Mataku mulai meredup, cahaya mulai menghitam, hanya sebuah senyum yang masih bisa kuberikan kepada dunia, namun sepertinya akan menjadi senyuman yang terakhir kali, tidak! Aku yakin aku masih bisa tersenyum dilain waktu. Ya… diakhirat aku akan tersenyum. Prinsip hidup mulia atau mati syahid telah kuraih… Tiba-tiba bayang-bayang wajah emak dan bapak terlintas dikepalaku, ‘Emak… Bapak… aku rindu kalian…’ Ucapku dalam hati. Aku hanya bisa mendengar ledakan yang sangat keras untuk terakhir kali… Tiba-tiba semua menjadi gelap…
September 2007 M.
Al-Faqir ila Rahmati Rabbihi
Mudhafi al-‘Abqary